Tags

, ,



By UW
Desa Asri Terbengkalai Tanpa Nama
Pengalaman ini didapat ketika aku pulang kampung. Pengalaman yang menunjukan fenomena perubahan sosial ekonomi masyarakat, mungkin bukan saja terjadi didaerahku. Jika mengacu pada HDI (Human Development Index), desaku sudah bukan termasuk desa yang terbelakang, hanya saja infrastkutur seperti jalan dan irigasi yang terbengkalai menunjukan ketidakbecusan dan kerakusan pejabat tertinggi sampai yang paling rendah di daerahku. Pembangunan infrastruktur yang mandek sepertinya terjadi hampir di seluruh wilayah.Walaupun demikian, maasyarakat di desaku tetap percaya pemimpin daripada percaya diri. Alasanya sederhana, kerusakan infrastruktur publik terutama jalan dan irigasi bukan hanya terjadi didaerahku. Pembangunan infrastruktur

Dari pengamatanku, strata sosial tertinggi didesaku ditempati oleh pengusaha dan pedagang, kedua pejabat pemerintah, ketiga petani dan keempat, orang yang masih dalam pencarian untuk berkarya. Diluar strata sosial, golongan ulama dan tetua desa memegang peran sentral walapun kini tuahnya semakin pudar. Buktinya, masyarakat bukan semakin madani malah semakin oportunis-materialis. Nilai-nilai moral sosial luntur. Contohnya; Bagi yang berada dan menguliahkan anaknya, apapun caranya setelah lulus harus jadi PNS; Bagi yang sedang berusaha untuk ada, segala upaya klenik dilakukan untuk mendukung hoki dari upaya; Bagi yang sedang mencari-cari kerja, modar-mandir kesana kemari menggalang massa sebagai modal menjadi wakli rakyat didaerah. Begitulah salah satu fenomena perubahan didesaku, bukan representasi keseluruhan keadaan nyata tetapi mewakili dinamika ekonomi, sosial dan budaya.

Lompatan Pengetahuan dan Budaya
Sejak listrik masuk, kehidupan didesaku semakin semarak. Entah kapan tepatnya listrik masuk ke desaku, tetapi seingatku belum lama. Tidak pada saat jaman devide et impera atau romusa maupun orde lama, listrik didesaku merata kira-kira sekitar jaman akan berakhirnya orde baru.

Semenjak adanya listrik, televisi menjadi hiburan utama. Televisi mengubah segalanya. Orang-orang didesaku mengalami lopmatan pengetahuan yang sangat nyata. Kombinasi pengetahuan bertani berladang dan berkebun dengan pengetahuan derama cinta menjadikan kehidupan desaku menjadi seperti sinetron dan tontonan dalam berita. Ibu-ibu menjadi pintar dan kreatif dengan mengkombinasikan gosip kampung dengan gosip nasional. Anak-anak petani menjadi semakin bermimpi, sampai lupa apa yang dipunyainya dan harus dilakukannya.

Sisi Ironis Desa Terbengkalai Tanpa Nama
Dari pengalamanku terakhir berkunjung, lompatan pengetahuan kedua sepertinya sedang terjadi didesaku. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sudah merambah desaku. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi lebih powerful mengubah tata sosial budaya di desaku. Televisi mungkin butuh waktu 5 sampai 7 tahun untuk mempengaruhi kebiasaan para petani desaku yang terbiasa hidup dengan alam. Namun, internet dengan segala isinya hanya butuh waktu kira-kira satu tahun untuk membuat yang tadinya tabu menjadi tidak tabu.

Didesaku warnet tumbuh subur, bahkan sudah masuk kategori bisnis dalam tahap mature. Kemudahan akses internet melalui hanphone menjadi pemicu segalanya. Generasi muda lebih berani untuk mengungkapkan rasa, tidak untuk urusan kerja. Facebook menjadikan anak-anak petani didesaku kreatif dan berani mengungkapkan rasa. Drama pribadi diungkapkan ke sesama, sudah tidak ada lagi batasan antara ranah pribadi dan ranah umum. Sawah ladang sepi, yang ada hanya generasi paripurna dengan segudang ilmu bumi yang sudah tidak lagi menarik untuk diwarisi. Ketika malam, yang diisi berkumpul dan bercengkrama dengan tetangga, yang tua menjadi kritikus pemerintah, analis politik, yang muda tertunduk bukan zikir, melainkan sibuk bermain facebook mencari relasi hati.

Manivestasi Realita
Desaku malang desaku sayang, karena aku masih berpetualang kau masih dalam kenang. Apa yang terjadi ini, bukan mimpi, melainkan fakta nyata yang membuka mata kita bagi yang masih mempunyai rasa, menggunakan logika dan semangat untuk berkarya.

Fakta pertama, dengan berbagai produk teknologi khususnya ITK, kita yang mungkin mewakili masyarakat umumnya masih dalam tahap pengguna belum sampai tahap pemanfaat teknologi. Bagaimana menghitungnya, tidak ada alat ukur yang menggambarkan secara pasti, kita dapat menghitung sendiri. Misalnya dalam penggunaan internet, seberapa sering kita mengakses informasi yang bermanfaat menambah pengetahuan kita daripada mengakses situs-situs yang bersifat hiburan. Apakah kita mengakses jejaring sosial untuk memperluas jaringan relasi yang mendukung tujuan kita ataukah sebaliknya.
Fakta kedua, untuk dapat memanfaatkan teknologi pengguna harus berpikir kreatif berimajinasi bagaimana menghasilkan ilmu, relasi atau uang melalui teknologi baik secara langsung maupun tidak langsung. Selama teknologi lebih pintar dari pengguna, pemanfaatan teknologi untuk sesuatu yang bermanfaat akan tetap rendah. Pintar disini bukan pintar seperti di sekolah melainkan pentar melihat peluang melalui proses kreatif apa yang bisa dimanfaatkan dengan teknologi seperti internet, HP dsb.
Fakta ketiga, untuk dapat sampai pada tahap pemanfaatan teknologi, masyarakat membutuhkan waktu belajar. Waktu belajar tersebut meliputi, kekaguman, mencoba, menggunakan, eksplorasi fiture dengan bermain, titik jenuh baru pemanfaatan teknologi.
Fakta keempat, masyarakat desaku yang termasuk juga aku dalam pemanfaatan teknologi masih membutuhkan bimbingan atau tuntutan. Mengacu pada khasus internet, televisi dan handphone di desaku penyebaran teknologi yang tidak diiring dengan memahaman teknologi yang dapat dilakukan melalui penyuluhan, menjadikan waktu belajar untuk dapat memanfaatkan teknologi Selama ini, penyuluhan teknologi di desa pasti hanya berkaitan dengan pertanian, perkebunan dan yang terkait lainnya. Sudah saatnya di desa diadakan penyuluhan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi.
Fakta kelima, arus informasi yang masuk melalui televisi handphone dan internet membawa nilai dan faham baru yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai lokal di desa. Akan menjadi tontonan yang tidak lucu ketika gaya kebarat-baratan tapi pengetahuan, pemikiran dan perbuatan masih terpasung oleh dogma primitif yang sepertinya sakral untuk diperbaharui. Jika asimilasi dan akulturasi diserahkan begitu saja pada masyarakat yang terjadi adalah destruksi mengarah ke chaos. Jadi perlu dibentuk lembaga yang memformulasikan asimilasi dan akulturasi nilai-nilai baru dengan nilai-nilai lokal sampai pada tingkat desa.

Dengan keadaan seperti sekarang ini, rasanya yang paling tepat dilakukan adalah mawas diri sendiri-sendiri. Desaku dan aku memang kampung, kampung yang mempunyai nilai-nilai lokal, jati diri yang akan membuat kita mandiri. Sebagai anak kampung, dengan rendah hati kita serap manivestasi jaman untuk kemajuan sebuah pemikiran, lebih dari itu utamakan kemaslahatan yang sudah menjadi warisan. Selain dari itu gemerlap jaman hanyalah busa-busa dari keserakahan, yang tergambar melalui siratan kapitalisme, kolonialisme dan hedonisme yang harus di-dekonstruksi atau kesampingkan sama sekali.